contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Jumat, 16 April 2010

new

Semilir angin berhembus meniupkan kerudungku. Ku lihat beberapa buah layang-layang di langit yang biru terbang dimainkan oleh angin musim kemarau. Beberapa petak sawah masih ditumbuhi padi yang menghijau hampir menguning, sebagian yang lain sudah dipanen dan terlihat tanah ladang padi yang pecah-pecah karena tersengat panasnya mentari musim kemarau. Banyak anak kecil berlarian di petak-petak sawah yang mengering sambil memegangi gulungan senar layangan. Terdengar teriakan mereka yang membubung angkasa ketika mereka mengadu layangan mereka. Sangat meriah dan terlihat sangat menyenangkan. Yeah memang sangat menyenangkan, perasaan yang sama ketika enam tahun silam aku mengadu layangan dengan anak-anak di kampungku. Aku masih ingat jika layanganku putus, aku segera mengejarnya bahkan sampai melalui perbatasan desa tetangga. Padahal, aku pun bisa membeli layangan yang sama tanpa harus mengejarnya. Tetapi, di sinilah letak kepuasaannya apabila mengejar dan mendapatkan layangan yang telah putus dan terbang tertiup angin. Kamu mungkin juga pernah merasakan perasaan yang sama sepertiku kawan jika kamu pernah mengejar layangan yang putus.
Terkadang aku bermain layangan bersama mbakku dan bersama temanku Dina atau Isah. Kita biasa bermain layangan di pematang sawah yang mengering, karena di sana anginnya sangat kencang, jadi sangat mudah menerbangkan layangan. Tetapi, jika ladang padi belum dipanen, kami bermain di lapangan. cukup sulit menerbangkan layangan di sana, anginnya tak terlalu kencang tak seperti di sawah. Kadang kita bermain layangan setelah pulang sekolah, sekitar jam 14.00 kita sudah tidak sabar untuk bermain layangan. Padahal, matahari masih memercikkan sinarnya yang panas, kita sudah berlari menerjang angin menerbangkan layangan. Tak heran kulit tubuh kita berubah menjadi hitam terbakar matahari.
Tak hanya bermain layangan, anak kampung sepertiku mempunyai banyak permainan untuk dimainkan. Seusai bermain layangan, kita biasa bermain naik Kerbau yang sedang berkubang di sawah yang tanahnya berupa lumpur. Tetapi, aku takut untuk mencoba menaiki punggung Kerbau, aku takut diseruduk. Jadi, aku hanya duduk di Parit diam saja melihat teman-temanku asyik naik punggung Kerbau. Kadang kita mencari siput sawah, ikan, jamur padi, dan belalang di sawah. Setelah itu, kita mandi di sungai. Hal ini yang paling aku suka. Aku suka sekali berenang, bahkan jika teman-temanku meminta kita sudahi berenang, aku malas untuk bangkit dari air. Aku bisa tahan berjam-jam dalam air, sampai bibirku membiru dan wajahku pucat, aku masih asyik berenang. Kalau aku puas dan kecapekan berenang, baru aku mau bangkit dari air. Sesudah berenang kadang kita beramain kelereng di halaman rumah, bermain lempar karet di ujung jendela kaca rumah. Siapa yang dapat karet terbanyak dia yang menang. Selain itu kita juga bermain lomapat tali, kartu wayang, petak umpet, rumah-rumahan, masak-masakan, pasar-pasaran, dan masih banyak yang lainnya. Semua permainan kita yang ciptakan sendiri dengan alat yang tersedia di alam atau permainan tradisional tanpa alat. Itulah masa kecilku yang indah seperti percikan warna yang kian terpercik dengan warna lainnya menghasilkan keindahan spektrum pelangi.
Tiba-tiba pandanganku kabur dan berubah ke waktu enam tahun silam. Kulihat empat sosok gadis kecil sedang berlari riang gembira di pematang sawah yang disinari mentari sore hari. Kudengar canda-tawa mereka yang terbang terbawa oleh angin sore.
“Ayoooooo! Kita berlomba mencari ikan sebanyak-banyaknya dan mengumpulkan siput sawah sebanyak-banyaknya!!!” teriak gadis kecil bersuara cempreng bersemangat.
“Ayoooo!!! Nanti aku pasti yang paling banyak mendapat ikan dan mengumpulkan paling banyak siput sawah!” teriak gadis kecil berambut sebahu, tipis dan agak merah bersemangat.
“Nanti aku yang pasti menang! Paling banyak mendapat ikan dan mengumpulkan paling banyak siput sawah!” teriak gadis kecil berambut sebahu dan agak kriting tak kalah bersemangat.
“Udah....jangan ribut! Kita tunjukkan saja kemampuan kita, siapa yang paling banyak mendapatkan ikan dan paling banyak mengumpulkan siput sawah dia yang nanti terbukti muncul sebagai pemenangnya!” ucap gadis kecil berambut sebahu yang hitam mengkilat menengahi keributan.
“Ayo kita mulai perlombaan sekarang!!!” teriak gadis kecil bersuara cempreng bersemangat.
Kulihat mereka segera berlari sambil menenteng ember kecil dan alat penangkap ikan ditangan mungil mereka. Kaki-kaki mungil mereka menginjak pematang sawah yang sempit tanpa takut terjatuh mereka berlari kencang menerjang angin dan dedaunan padi yang menghijau. Tawa mereka tenggelam diantara kicauan burung sawah dan bunyi katak sawah. Tangan-tangan mereka segera meraih siput sawah yang ada di tepi-tepi parit pematang sawah.
Dari percakapan mereka yang terbawa oleh hembusan angin, aku mengetahui nama-nama mereka. Gadis kecil yang bersuara cempreng bernama Isah. Gadis kecil berambut sebahu, tipis dan agak merah bernama Dina yang biasa dipanggil dengan sebutan Nana. Gadis kecil berambut sebahu dan agak kriting bernama Ayu. Dan gadis kecil terakhir berambut sebahu yang hitam mengkilat tak lain adalah aku sendiri, aku ketika masih kecil. Kupandangi wajahku yang masih mungil dan polos, kudekati sosok tubuhku yang mungil dan hendak kupegang badanku yang mungil. Tetapi semakin aku hendak meraih badanku yang mungil, tanganku tak kuasa menggapainya. Kucoba berkali-kali menggapainya, tetapi nihil tetap tak bisa. Semua pemandangan dihadapanku seperti layar LCD di dinding, bisa kulihat tetapi tak bisa kupegang.
Tawa-canda mereka merekah di antara daun-daun padi yang menghijau dan di antara lumpur-lumpur sawah berwarna gelap bertekstur lembut. Saking asyiknya mereka tak kenal waktu bermain di sawah, tak terasa mentari telah kembali ke peraduannya dan sang senja telah muncul di ufuk barat. Angin sore bertiup semilir menggoyangkan daun-daun padi. Tiba-tiba terdengar teriakan keras dari ujung rumah tetangga yang berdekatan dengan sawah.
“Ani...................!!! Pulaaaaaaang!!! Udah sore!!! Bentar lagi adzan Maghrib!!!” teriak seorang perempuan memecah keheningan sore yang indah.
Gadis kecil berambut sebahu yang hitam mengkilat mendengar suaranya dipanggil segera mendongakkan tubuhnya dan memalingkan wajahnya. Dia melihat dari kejauhan daun-daun padi yang menghijau ibunya melambai-lambaikan tangannya menyuruhnya pulang.
“Hai!!! Teman-teman ayo kita pulang! Sudah sore nanti kita dicari ibu kita loh! Tuh ibuku sudah memanggilku menyuruhku pulang!” teriak Gadis kecil berambut sebahu yang hitam mengkilat itu sembari mengangkat kaki mungilnya dari kubangan lumpur sawah hendak beranjak naik ke pematang sawah.
Mereka bertiga akhirnya menyudahi pencarian siput sawah dan menangkap ikan karena hari sudah petang. Satu persatu dari mereka mengangkat kaki mungilnya dari kubangan lumpur sawah dan naik ke pematang sawah. Mereka berlari berkejar-kejaran menerjang angin sore dan daun-daun padi yang menghijau. Langkah kaki mungil mereka saling mendahului membasahi rumput-rumput di pematang sawah. Matahari hendak kembali ke peraduannya, burung-burung sawah bernyanyi riang hendak kembali ke sarangnya, sementara itu kelelawar malam keluar dari sarang mereka, tawa riang gadis-gadis mungil itu memecah keramaian senja sore yang indah. Senja sore yang indah dengan warna jingganya yang memenuhi angkasa takkan terlupakan olehku. Begitu juga canda-tawa teman-teman kecilku yang memecah keramaian senja sore yang indah akan selalu terkenang di palung hatiku terdalam. Bahkan, sampai hari ini saat aku sudah menjadi mahasiswi yang duduk di semester empat, keindahan senja dan canda-tawa masa kecilku seolah baru kemarin kurasakan. Mereka menjadi lukisan keabadian terindah dalam hatiku.

0
Kamis, 15 April 2010

DIBUTUHKAN PENGAJAR BIMBEL PRIVAT/KELAS
SEMUA MATA PELAJARAN MULAI MATEMATIKA, KOMPUTER, FISIKA, BILOLOGI, KIMIA, BAHASA INGGRIS, ARAB, JERMAN, PRANCIS, DAN LAIN-LAIN.
ALAMAT GANG GENJAH BELAKANG MULTIPURPOSE UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
SEGERA HUBUNGI 081227298941
UNTUK INFORMASI LEBIH LANJUT

0
Selasa, 13 April 2010

Aku paling suka membaca cerpen mba Helvy yang judulnya “Ketika Mas Gagah Pergi” isinya aku banget. Dulu, aku juga seperti Gita, tidak berjilbab dan tomboi abis, rambut cepak, kemana-mana selalu pake celana selutut dan kadang sengaja kurobek lututnya agar terkesan macho, pokoknya aku pengin menjadi cowok, itu impian gilaku. Padahal aku bersekolah di sekolah Islam yang mewajibkan siswanya mengenakan jilbab, tetapi seusai sekolah jilbabku kucampakkan begitu saja di kamarku. Sampai pada suatu ketika Allah SWT memberiku hidayah untuk mengenakan jilbab ketika aku lulus dari Mts.
Membaca cerpen “Ketika Mas Gagah Pergi” membuat aku menangis melihat sosok Gita seolah aku sendiri yang diperingatkan Allah SWT untuk berjilbab. Aku bersyukur nasibku tidak seperti Gita, ketika hidayah datang, justru orang yang dicintainya dipanggil Allah SWT. Berlinang air mataku saat membaca Mas Gagah telah dipanggil Allah SWT, aku teringat ibuku yang dulu selalu menyuruhku mengenakan jilbab. Ibuku selalu menegurku dan kadang memarahiku karena berpenampilan seperti anak jalanan, ibuku malu pada keluarga besarnya karena aku dididik dan dibesarkan dalam lingkungan pondok pesantren dan keluarga besarku adalah seorang kiai, tetapi cucunya kiai justru jadi berandal, apa kata dunia.
Bersyukurlah aku, aku tidak kehilangan ibuku yang kucintai, saat aku mengenakan jilbab untuk selama-lamanya. Cerpen “Ketika Mas Gagah Pergi” benar-benar menginspirasiku untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Aku suka banget dengan kalimat diskusi antara Gita dan Mas Gagah, benar-benar menyentuh dan memberi ilmu baru yang bermanfaat bagiku. Sosok Mas Gagah benar-benar berkarakter dalam cerpen itu, aku suka.
Cerpen dengan judul "Mencari Senyum" menurutku itu aneh tetapi sangat unik, pemikiran mba Helvy sangat liar dan segar, masak senyum saja dicari padahal tanpa dicari pun bisa didapat. Karakter tokohnya juga unik, aku suka. Dialog-dialognya menggambarkan seolah-olah aku yang menjadi tokoh dalam cerpen itu sendiri, sangat menarik. Tak terasa aku cepat sekali membacanya, tetapi menurutku endingnya kurang menarik, masih membuat aku penasaran kenapa dalam tokoh cerpen tersebut senyum mereka bisa hilang secara tiba-tiba dan kenapa untuk mencari senyuman harus melangkah di jalan cahaya?
Cerpen dengan judul "Sebab Aku Angin" membuatku miris membacanya, seolah-olah kejadian itu terjadi di depan mataku, menyeruak mengerikan begitu saja. Kata-kata yang dipilih mba Helvy sangat cocok dan menjiwai peran tokoh, seolah peristiwa itu dialami oleh mba Helvy sendiri. Dengan kata-kata yang lugas dan deskriptif membuat isi cerpen enak dinikmati seperti aku sedang menonton film saja membaca cerpen ini, benar-benar menarik. Cerpen tentang perjuangan Islam yang membuatku menangis haru, mengoyak hati, dan inspiratif.
Cerpen dengan judul "Lelaki Kabut dan Boneka" membacanya aku diajarkan melihat suatu kejadian pembunuhan dan yang membunuh adalah aku sendiri. Membacanya membuat bulu kudukku merinding dan bergidik membayangkan kepala orang berserakan dan darah menggenang di mana-mana, benar-benar mengerikan mengingatkanku pada peristiwa Gaza tahun kemarin. Ketika mayat-mayat yang hancur berserakan diliput oleh TV, darah menggenang dimana-mana, rumah dan bangunan hancur berkeping-keping menbuat hatiku terkoyak. Cerpen ini mengajarkan rasa kemanusiaan yang sudah mati dalam tokoh utamanya, bagaimana mungkin dia begitu tega membunuh saudara setanah airnya demi pulau impian, benar-benar memprihatinkan, tetapi sayangnya hal seperti itu juga ada dalam kehidupan nyata. Cerpen yang bagus dan menjiwai.
Cerpen dengan judul “Lorong Kematian” tak jauh berbeda dengan cerpen "Lelaki Kabut dan Boneka". Hanya saja, dalam cerpen “Lorong Kematian” pembunuhan dilakukan dengan lebih sadis, tokoh dalam cerpen seperti layaknya iblis yang haus darah. Mba Helvy keren dalam berimajinasi, membuat tokoh utama mengepung PBB dan menyamar sebagai PBB kemudian melanjutkan penyerangan, benar-benar diluar dugaan saya, menakjubkan.
Cerpen dengan judul “Pattimura” awalnya kupikir cerita tentang pahlawan Pattimura yang dikemas dengan model baru, ternyata aku salah, tokoh utama cerpen ini bernama Pattimura. Cerpen tentang persaudaraan, keluarga, persahabatan, dan penghianatan. Membaca cerpen Pattimura aku menjadi ingat seperti membaca novel “The Kite Runner” karya Khaled Hosaini yang juga bercerita tentang persaudaraan, keluarga, persahabatan, dan penghianatan. Hanya saja dalam Pattimura, lebih kental nuansa keluarga, penghianatan dan perangnya sedangkan dalam novel “The Kite Runner” lebih kental tentang persaudaraan dan penghiantan.
Cerpen yang bagus, membacanya mengajarkan padaku bagaimana seharusnya bertingkahlaku dan bersikap kepada orang lain, walaupun dia hanyalah anak angkat orang tua kita. Sikap iri dan dengki itu tidak baik dipelihara dan apabila dipelihara terus menerus akan mengakibatkan rasa penyesalan yang tak berkesudahan seperti penyesalan tokoh Said dalam cerpen Pattimura.

0
Sabtu, 03 April 2010

Deru kendaraan memekakan telingaku. Ditambah lagi asap yang mengepul dari bus metromini, benar-benar membuat kepalaku pusing dan perutku mual. Asap knalpot itu hitam pekat, banyak mengandung Karbondioksida dan Timbal yang berbahaya bagi kesehatan. Dengan indahnya asap itu menyemprot mukaku jika aku hendak menyeberang jalan lampu merah. Seenaknya saja membuang racun, tanpa permisi. Semakin siang panas semakin menggila, berhenti beberapa menit saja dipinggir lampu merah, bajuku sudah panas seperti habis disetrika dengan panas full. Jogja sekarang memang panas. Pepohonan di jalan pun hanya sedikit karena ditebang, pantas saja panasnya tak tertahankan.

Aku heran pada anak-anak kecil yang berlari dengan riang membelah jalanan yang terik, mereka menyanyi diiringi alat musik terbuat dari tutup botol di bawah siraman mentari yang menyengat hanya memakai baju pendek kumal. Suara cempreng anak-anak itu membuat telinga sakit, tak heran pengendara mobil/motor langsung melempar uang kepada anak itu, itu yang bagus. Buruknya, tak segan-segan pengendara mobil/motor menghardik anak itu dengan keras tanpa belas kasihan.

Tetapi, anak-anaki itu tetap tersenyum ceria di tengah jalan yang terik

0
Minggu, 21 Maret 2010

Ibuku sering bercerita kepadaku tentang kelahiranku, bahkan jika teman-temanku dan teman-teman ibuku bermain ke rumahku, tak bosan-bosan ibu bercerita tentang kelahiranku. Diawal cerita pasti ibu berucap "Dari keempat anakku hanya Ani yang rasanya paling enak dan mudah ku lahirkan." sambil tersenyum mata ibu seperti menerawang ke masa lalu.
Lalu melanjutkan sambil nyengir kelinci,"Saat itu dokter memprediksi aku melahirkan anak ku awal bulan Agustus, tetapi akhir Juli perutku sudah kontraksi. Bidan dan dukun bayi segera dipanggil, tetapi setelah berjam-jam menunggu kontraksi malah berhent.

0
Rabu, 17 Maret 2010

Berdasarkan cerita nyata (Based on the True Story)

Tragedi Gelombang Cinta

Ku langkahkan kakiku menuju pintu rumah yang terbuka. Tampak sepi dan lengang, rumah ini seperti tak berpenghuni. Angin bertiup sepoi-sepoi membawa udara panas. Matahari musim kemarau bersinar terik. Udara bertambah panas. Rumah yang berada di tengah sawah ini semakin panas. Sesekali terdengar bunyi serangga sawah dan katak sawah bersahut-sahutan, mereka seolah berteriak kepanasan karena mentari yang menyengat tubuhnya.
Baru sampai di depan halaman rumah, kami sudah disambut oleh dua ekor kera menyeringai galak hendak mencakar kami. Aku lari terbirit-birit ketakutan. Kera itu mengejarku, untung saja tali yang dikalungkan di leher kera itu cukup kuat sehingga kera itu tidak bisa meraihku.
"Hai! Hai! Hai! Jangan begitu! Jangan Nakal!" ucap ibu tua menghambur dari dalam rumah sambil mengacungkan sebuah kayu ke arah kera itu. Kera itu lantas menyungkurkan badan seperti orang sedang sujud, mungkin dia takut dengan tuannya.
"Mba masuk aja ke dalam rumah! Kera ini memang galak kalau sama orang yang belum kenal." teriak ibu tua sambil tersenyum ramah kepadaku.
"Eeh iya bu...." jawabku sambil nyengir kuda melihat tingkah kera yang lucu setelah ibu tua datang menghardiknya.
Aku melangkahkan kakiku menuju pintu yang terbuka bersama Tanteku, kami masih tertawa ringan melihat ibu tua dan keranya. Sesampainya di muka pintu kami mengucapkan salam, tetapi tak ada yang menjawab, hanya sepi dan lengang. Terdengar suara gesekan daun pohon Kelapa yang rimbun di atas rumah ibu tua tadi. Kami menucapkan salam lagi, tetapi masih sama seperti tadi, tak ada orang yang menjawab. Tiba-tiba...
"Gubrakkk!!! Gubraaakkk!!! Gubraakkk!!!" terdengar suara barang-barang jatuh, mungkin di dapur.
Beberapa detik kemudian, muncul bayangan hitam yang menyeringai ngeri. Bulu kudukku berdiri. Dan dengan langkah yang cepat bagaikan menerjang angin bayangan itu berubah semakin besar menghadangku. Keringat dingin ku mengucur deras. Dan tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut lagi.
"Gubraakkk! Gubraakkk!!! Gubraakkkkkkkk!!!!" bergantian.
Tetapi, kini ada tambahan suara lainnya yang bersahut-sahutan.
"Miaaaaooowwww!!! Miaaaaaaooowwww!"
"Ciiit....!!! Ciiiciit...!!! Citciiiiiit!!!"
Seketika tawa kami meledak melihat pemandangan di depan mata kami seekor Kucing dan Tikus berkejar-kejaran seperti dalam film Tom and Jerry saja. Mata si Kucing yang mencerminkan kelaparan yang amat sangat dan mata si Tikus yang mencerminkan rasa takut yang luar biasa saling beradu. Tikus itu berlari dan meloncat kesana-kemari tak tentu arah, barang-barang di depannya ditabrak dengan brutal. Bahkan si Tikus sampai berlari ke atap, si Kucing tak gentar mengejarnya, jadi seperti lagu Maju Tak Gentar saja, hahahaha pikirku.
"Masuk aja mba!" teriak ibu tua dari luar.
Kami memasuki rumah yang sepi, tawa kami terhenti seketika ketika kami melihat seorang perempuan kurus kering memakai kaos dalam sedang tidur dengan pulas di belakang kursi tamu di ruang tamu. Wajahnya tak terlihat karena terhalang badannya yang meringkuk.
"Silahkan duduk mba...! Tapi maaf saya gak bisa suguhin apa-apa..." ucap ibu tua ramah sambil membawa nampan berisi air putih.
"Iya bu...gak papa...air putih udah lebih dari cukup." jawab kami balik tersenyum.
"Bu, Isah nya dimana?" tanya Tante ku kemudian.
"Itu sedang tidur!" ucap ibu tua seraya menunjukan arah kepalanya ke arah perempuan yang tadi tidur di ruang tamu.
Kami segera mendekati perempuan itu.
"Masya Allah... Isaaaaah..." teriak Tante ku histeris dengan spontan.
Perempuan itu mendongakan kepalanya perlahan-lahan, rambutnya yang berantakan bergoyang-goyang pelan, matanya yang memerah karena tidur perlahan-lahan dibuka. Wajahnya pucat dan cekung, tulang pipinya menonjol, tubuhnya seperti tengkorak hidup hanya tinggal tulang belulang yang dilapisi kulit. Wajahnya terlihat sangat tua, seperti nenek-nenek berusia enam puluhan tahun. Urat-uratnya menyemburat muncul. Rambutnya merah, kusam, dan acak-acakan. Tatapan matanya pias dan kosong, kornea matanya yang dulu putih kini berwarna cokelat seperti orang yang menangis tiada henti.
Aku benar-benar tak percaya dengan penglihatan mataku. Hatiku miris remuk redam melihat sahabat kecilku di masa lalu yang dulu sehat, berwajah manis, dan periang kini berubah menjadi seperti mumi hidup, tatapan matanya yang selalu kosong entah memikirkan apa, dia menjadi sangat pendiam. Air bening berkumpul dimataku, hendak menetes, tetapi ku tahan, ku kuatkan hati untuk bertanya kepadanya kenapa dia menjadi seperti itu.
"Ani....." suara perempuan itu memanggil nama kecilku, parau dan pelan.
"Iya ini aku...Sah..." jawabku dengan nada sedih, kupandang matanya yang terlihat kosong, terlukis jelas di matanya kesedihan yang amat sangat.
"Ani....." panggilnya sekali lagi dengan suara parau, tetapi kali ini agak lebih keras.
"Iya...Saaah...aku di sini...." jawabku masih dengan nada sedih.
"Ani...kesini sama siapa?" tanyanya pelan.
"Aku sama Tante ku...yang dulu kamu bekerja di rumahnya menjaga anak-anaknya, ingat kan....?!"
"Bu Iim...." suaranya pelan, wajahnya didongakkan ke arah tanteku berada.
"Isah...kenapa kamu jadi seperti ini...?!" tanya tanteku dengan nada suara yang tercekat menahan sedih.
"Sejak kejadian di Jakarta waktu itu, Isah jadi berubah menjadi seperti ini..." ucap ibu tua dengan nada sedih.
"Emang kejadiannya seperti apa bu?" tanya Tante ku dengan nada penasaran.
Aku masih syok melihat keadaan sahabat kecilku di masa lalu, aku tak bisa berkata-kata hanya memandanginya dengan mata tergenangi air mata.
"Yah...sejak Isah kerja di Jakarta sebagai pembantu rumah tangga..." ibu tua menghela nafas panjang melanjutkan cerita.
"Dia bekerja mengasuh anak kecil, kejadiannya bermula ketika majikannya membeli tanaman hias "Gelombang Cinta" yang harganya jutaan rupiah. Selain ditugasi menjaga anak majikannya yang masih berusia balita, Isah juga ditugasi menjaga dan merawat tanaman mahal itu. Tetapi, tiba-tiba tanaman mahal itu dicuri orang. Isah merasa sangat bersalah kepada majikannya, karena telah lalai menjalankan tugasnya..." suara ibu tua tiba-tiba terhenti, terlukis jelas diwajahnya yang keriput kesedihan yang mendalam, matanya tergenang air mata kesedihan.
Kami hanya bisa terdiam memandang wajah ibu tua yang sedih dan memandang Isah yang masih terlihat asyik dengan lamunannya, matanya masih terlihat kosong.
"Sejak saat itu Isah sering melamun...sampai akhirnya dia meminum obat nyamuk semprot Baygon...Isah mencoba bunuh diri karena merasa sangat bersalah dengan majikannya..." ibu tua mendesah mengambil nafas panjang.
"Isah ditemukan tak sadarkan diri di kamarnya, majikannya segera membawanya ke Rumah Sakit terdekat. Isah diopname sampai beberapa hari dia coma, tetapi syukurlah dia akhirnya sadarkan diri juga. Tetapi, dia tetap melamun dan tidak mau makan, oleh karena itu kondisinya tak kunjung membaik. Akhirnya, majikannya membawanya pulang dan menghubungi kami karena tidak sanggup membayar biaya rumah sakit yang mahal. Isah kami bawa pulang ke rumah. Keadaanya masih tetap sama, dia tidak mau makan apapun, minum juga cuma sedikit sekali, makanya badanya jadi kurus kering seperti itu. Berhari-hari Isah tidak mau makan dan setiap harinya dia hanya melamun terus entah apa yang dipkirkannya. Jika diajak ngobrol dia hanya diam dan masih tetap melamun seperti sekarang ini. Karena tidak makan keadaanya memburuk. Kami akhirnya terpaksa membawanya ke Puskesmas untuk diopname karena dia tidak mau makan akhirnya dia di infus." Ibu tua menghentikan pembicaraan sambil memandang Isah dengan tatapan pilu yang terbaring di tikar tanpa selimut.
"Di Puskesmas dia tetap tidak mau makan apapun, bahkan sampai cairan infus tidak mau masuk ke dalam tubuhnya. Karena kami tidak kuat lagi membayar biaya opname di Puskesamas, terpaksa Isah kami bawa pulang ke rumah. Kalian bisa lihat kan...sekarang keadaannya seperti apa..." jelas ibu tua dengan nada sedih.
Aku menghampiri Isah dan mencoba mengajaknya ngobrol.
“Kamu kenapa Sah...Kok jadi seperti ini?” tanyaku.
Isah hanya terdiam, matanya berputar-putar, tetapi pandangannya tetap kosong.
“Sekarang apa yang kamu rasakan Sah?” tanyaku lagi.
“Gak tau...” jawab Isah tertahan dan pelan.
“Apa kamu rasanya ingin melamun terus?” tanyaku penuh selidik.
“Iya....” jawab Isah pelan.
“Terus kepalamu rasanya pusing banget...sampai-sampai penginnya tidur terus?” kutanyakan perasaan yang sama kurasakan dulu saat awalnya aku mencoba untuk bunuh diri.
“Iya....”
“Badanmu dan tulang-tulangmu rasanya sakit semua?” tanyaku lagi.
“Iya...” jawabnya pelan sambil menutupkan kelopak matanya, tersirat jelas diwajahnya rasa capek yang luar biasa.
“Aku mau tidur dulu ya...capek banget...” ucapnya pelan sambil membenarkan posisi tidurnya.
Kami berbincang-bincang lama dengan ibu tua tentang keadaan Isah, karena keluarganya miskin terpaksa mereka hanya merawatnya di rumah saja. Maklum penghasilan mereka tidak seberapa, bapaknya hanya tukang becak kampung dan sekarang kakinya sedang sakit karena luka, terpaksa dia berhenti bekerja. Sedangkan Ibu tua hanya bekerja sebagai petani dan kadang-kadang pencuci pakaian tetangga. Gajinya tidak seberapa, terkadang buat makan satu keluarga yang jumlahnya 14 orang saja, itu susah...ditambah lagi sekarang Isah sakit, penderitaannya berlipat-lipat.
"Kemarin, nyawanya Isah seperti hilang, dia tidak sadarkan diri cukup lama, lalu kami sekeluarga dan tetangga yang datang membacakannya surat Yassin. Alhamdulillah, akhirnya dia sadarkan diri juga..." ucap ibu tua dengan nada khawatir.
Kami agak kaget, mendengar ibu tua membacakan Alquran surat Yassin, padahal kita juga tau bahwa keluarga ini tidak mengerjakan sholat lima waktu. Dulu, mereka jika ditanya tetangga kenapa tidak sholat? Mereka hanya menjawab, "Sholat tidak merubah hidup kita, kita tetap saja miskin!" Tetapi, sekarang mereka percaya hikmahnya Alquran ketika Isah sakit, semoga saja karena musibah ini mereka mendapatkan hidayah dari Alloh SWT. Kami pamit pulang karena hari sudah petang. Matahari hendak kembali ke ufuk barat. Kami pamitan ke Isah dan Ibu tua.

Sehari setelah aku menjenguk Isah, kukabarkan keadaan Isah pada teman dekatku, Dina dan Ayu. Siangnya sepulang sekolah, kami berkunjung ke rumah Isah, sambil membawa roti dan makanan seadanya dari uang patungan kita. Kami masih memakai seragam SMA ketika measuki rumah Isah, ibunya menyambut kami dengan gembira.
"Wuaaaah...mba datang lagi...saya sangat senang Isah dijenguk teman-temannya...ayo masuk-masuk! Isahnya ada di kamar sedang tertidur, masuk aja ke kamarnya...bangunkan saja Isah, dari tadi dia tidur!" ucap Ibu tua girang.
Kami segera memasuki kamar Isah dan membangunkannya dengan hati-hati.
"Sah...ini kami datang menjengukmu..." ucap kami berbarengan.
"Ani..." ucapnya pelan sambil membuka kelopak matanya pelan-pelan.
"Iya...aku dateng bersama Ayu dan Nana, kamu masih ingat mereka kan..?!" tanyaku.
"Ayu...Nana..." mata Isah memandang Ayu dan memanggil nama panggilan akrab Dina dengan sebutan Nana.
"Iya Sah...kami datang untuk menjengukmu...kami bawakan kamu roti dan susu...dimakan ya..." ucap Ayu dengan nada membujuk.
"Iya Sah dimakan ya rotinya...enak loh...apalagi pakai susu..." ucap Dina dengan nada membujuk.
Isah tetap menggeleng.
"Ayo Sah dimakan ya rotinya biar kamu sembuh nanti kita bisa man bersama lagi seperti dulu. Bermain di sawah menangkap ikan dan belut, ke bukit, mandi di sungai, membuat rujak bersama dan kita makan bersama seperti dulu..." bujukku bersamangat.
"Iya Sah...nanti kita main-main lagi sepeti dulu...kan asyik banget loh..." ucap Ayu tak kalah semangat denganku.
Tetapi, Isah tetap menggelengkan kepala, pelan-pelan dia menutupkan kelopak matanya yang sayu dan berucap pelan...
"Aku ngantuuuuk...." ucapnya sembari menaruh kepalanya di atas bantal.
Kami mafhum, kami segera keluar dan berpamitan kepada ibunya Isah. Kami pulang dengan perasaan sedih karena kami gagal membujuk Isah untuk makan agar dia sembuh dan bisa bermain bersama kami lagi.

Keesokan paginya, seperti biasa aku ke rumah Dina menjemput dia untuk berangkat sekolah bersama, karena rumah Dina berdekatan dengan sekolah, kami sering berangkat bersama.
"Tadi pagi sekitar jam 06.00 WIB di rumah Isah ada ramai-ramai. Kudengar dari tetangaku Rama, katanya Isah telah dipanggil oleh Alloh SWT pagi tadi sehabis Shubuh." ucap Dina dengan nada sedih.
"Innalillahi wa innaillaihi raji'un..." ucapku kaget setengah mati.
Kami terdiam beberapa saat.
"Kamu yakin Na...kamu gak salah dengar?" tanyaku tak percaya.
"Iya...aku yakin...setelah tetanggaku Rama mengatakan Isah meninggal aku buru-buru ke tempat keramaiain itu. Dan kulihat tubuh Isah kaku dan digendong orang-orang dimasukkan ke dalam mobil, mungkin untuk disholatkan lalu dikuburkan." ucap Dina dengan nada sedih.
Kami tertunduk lama. Masih jelas dalam ingatanku, kemarin kami bertemu dengannya dalam keadaan dia sakit parah dan kurus kering seperti mumi. Tetapi, sekarang dia sudah meninggal. Rasa-rasanya baru kemarin aku bertemu dia, tiga tahun yang lalu kita berpisah karena dia merantau ke Jakarta dan kita bertemu ketika malam lebaran di kios dekat rumahku. Badannya sehat, tinggi, bersih seperti orang kota dan cantik. Kami ngobrol cukup lama sampai malam memisahkan kita. Sejak itu kita tidak pernah bertemu lagi. Masih jelas dalam ingatanku, enam tahun yang lalu kita bermain bersama, bermain layangan di lapangan desa atau di sawah yang mengering, kita mandi di sungai bersama, pergi ke bukit bersama, tetapi semua itu sekarang tinggal kenangan indah yang tersimpan di hati. Selamat jalan Isah, semoga engkau diterima di sisiNya, engkau akan selalu ku kenang di dalam hatiku yang terdalam dan terukir indah bersama kenangan indahku yang lain.

Tiba-tiba pandanganku kabur dan berubah ke waktu enam tahun silam. Kulihat empat sosok gadis kecil sedang berlari riang gembira di pematang sawah yang disinari mentari sore hari. Kudengar canda-tawa mereka yang terbang terbawa oleh angin sore.
“Ayoooooo! Kita berlomba mencari ikan sebanyak-banyaknya dan mengumpulkan siput sawah sebanyak-banyaknya!!!” teriak gadis kecil bersuara cempreng bersemangat.
“Ayoooo!!! Nanti aku pasti yang paling banyak mendapat ikan dan mengumpulkan paling banyak siput sawah!” teriak gadis kecil berambut sebahu, tipis dan agak merah bersemangat.
“Nanti aku yang pasti menang! Paling banyak mendapat ikan dan mengumpulkan paling banyak siput sawah!” teriak gadis kecil berambut sebahu dan agak kriting tak kalah bersemangat.
“Udah....jangan ribut! Kita tunjukkan saja kemampuan kita, siapa yang paling banyak mendapatkan ikan dan paling banyak mengumpulkan siput sawah dia yang nanti terbukti muncul sebagai pemenangnya!” ucap gadis kecil berambut sebahu yang hitam mengkilat menengahi keributan.
“Ayo kita mulai perlombaan sekarang!!!” teriak gadis kecil bersuara cempreng bersemangat.
Kulihat mereka segera berlari sambil menenteng ember kecil dan alat penangkap ikan ditangan mungil mereka. Kaki-kaki mungil mereka menginjak pematang sawah yang sempit tanpa takut terjatuh mereka berlari kencang menerjang angin dan dedaunan padi yang menghijau. Tawa mereka tenggelam diantara kicauan burung sawah dan bunyi katak sawah. Tangan-tangan mereka segera meraih siput sawah yang ada di tepi-tepi parit pematang sawah.
Dari percakapan mereka yang terbawa oleh hembusan angin, aku mengetahui nama-nama mereka. Gadis kecil yang bersuara cempreng bernama Isah. Gadis kecil berambut sebahu, tipis dan agak merah bernama Dina yang biasa dipanggil dengan sebutan Nana. Gadis kecil berambut sebahu dan agak kriting bernama Ayu. Dan gadis kecil terakhir berambut sebahu yang hitam mengkilat tak lain adalah aku sendiri, aku ketika masih kecil. Kupandangi wajahku yang masih mungil dan polos, kudekati sosok tubuhku yang mungil dan hendak kupegang badanku yang mungil. Tetapi semakin aku hendak meraih badanku yang mungil, tanganku tak kuasa menggapainya. Kucoba berkali-kali menggapainya, tetapi nihil tetap tak bisa. Semua pemandangan dihadapanku seperti layar LCD di dinding, bisa kulihat tetapi tak bisa kupegang.
Tawa-canda mereka merekah diantara daun-daun padi yang menghijau dan diantara lumpur-lumpur sawah berwarna gelap bertekstur lembut. Saking asyiknya mereka tak kenal waktu bermain di sawah, tak terasa mentari telah kembali ke peraduannya dan sang senja telah muncul di ufuk barat. Angin sore bertiup semilir menggoyangkan daun-daun padi. Tiba-tiba terdengar teriakan keras dari ujung rumah tetangga yang berdekatan dengan sawah.
“Ani...................!!! Pulaaaaaaang!!! Udah sore!!! Bentar lagi adzan Maghrib!!!” teriak seorang perempuan memecah keheningan sore yang indah.
Gadis kecil berambut sebahu yang hitam mengkilat mendengar suaranya dipanggil segera mendongakkan tubuhnya dan memalingkan wajahnya. Dia melihat dari kejauhan daun-daun padi yang menghijau ibunya melambai-lambaikan tangannya menyuruhnya pulang.
“Hai!!! Teman-teman ayo kita pulang! Sudah sore nanti kita dicari ibu kita loh! Tuh ibuku sudah memanggilku menyuruhku pulang!” teriak Gadis kecil berambut sebahu yang hitam mengkilat itu sembari mengangkat kaki mungilnya dari kubangan lumpur sawah hendak beranjak naik ke pematang sawah.
Mereka bertiga akhirnya menyudahi pencarian siput sawah dan menangkap ikan karena hari sudah petang. Satu persatu dari mereka mengangkat kaki mungilnya dari kubangan lumpur sawah dan naik ke pematang sawah. Mereka berlari berkejar-kejaran menerjang angin sore dan daun-daun padi yang menghijau. Langkah kaki mungil mereka saling mendahului membasahi rumput-rumput di pematang sawah. Matahari hendak kembali ke peraduannya, burung-burung sawah bernyanyi riang hendak kembali ke sarangnya, sementara itu kelelawar malam keluar dari sarang mereka, tawa riang gadis-gadis mungil itu memecah keramaian senja sore yang indah. Senja sore yang indah dengan warna jingganya yang memenuhi angkasa takkan terlupakan olehku. Begitu juga canda-tawa teman-teman kecilku yang memecah keramaian senja sore yang indah akan selalu terkenang di palung hatiku terdalam. Bahkan, sampai hari ini saat aku sudah menjadi mahasiswi yang duduk di semester empat, keindahan senja dan canda-tawa masa kecilku seolah baru kemarin kurasakan. Mereka menjadi lukisan keabadian terindah dalam hatiku.

2
Jumat, 05 Maret 2010

Aku tidak tau, kenapa aku tiba-tiba ada di desa ini. Desa yang belum pernah kulihat selama ini. Orang-orang yang terlihat di desa, belum pernah aku mengenalnya. Sama sekali asing. Aku semakin bingung. Aku mencoba melanjutkan perjalananku, dan mencoba bertanya kepada penduduk desa, sebenarnya apa nama desa ini. Nah, di sana ada beberapa orang yang sedang berjalan ke arah ku, aku akan coba bertanya kepadanya.
"Permisi pak, mau tanya, desa ini namanya apa ya?" tanyaku sesopan mungkin.
Mata bapak itu dingin memandang ku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dia hanya terdiam membisu. Ku coba mengulangi pertanyaanku sekali lagi. Tetapi, aneh dia tetap menatapku dingin dan membisu seribu bahasa. Mungkin dia tidak mengerti bahasaku. Aku mencoba menggunakan bahasa tubuh, tetapi aneh, bapak itu tetap terdiam membisu. Dan tiba-tiba dia pergi begitu saja.
Aku kembali bertanya kepada ibu-ibu yang tak jauh dari tempat bapak tadi berdiri. Tetapi, sangat aneh reaksinya masih tetap sama. Ibu itu diam dan menatapku dengan dingin, sejurus kemudian ibu itu pergi dari pandangan mataku secepat kilat.
Aku mengernyitkan dahi, benar-benar heran aku dibuat dengan desa ini. Pertama, bentuk desa ini aneh, tidak seperti ada kehidupan di dalamanya. Kedua, penduduknya jauh lebih aneh, mereka tidak melakukan aktifitas apapun, hanya berjalan saja dan jalannya sangat cepat. Mereka juga seolah tak pernah berkata-kata. Desa ini benar-benar sepi, seperti tak berpenghuni.
Ku putuskan untuk berkeliling, melihat seluk-beluk desa ini. Aku berjalan ke kebun penduduk. Tiba-tiba di depan mataku aku melihat sesuatu yang sungguh luar biasa menyeruak di dedaunan.
"Masya Alloh! Tomat kok sebesar rumah!" pekik ku kaget luar biasa, aku hampir terjungkal saking tidak percayanya.
Aku mencoba mengucek-ngucek mataku, kupikir ini mimpi atau halusinasi ku sendiri karena lelah berjalan-jalan.
"Masya Alloh! Ini nyata bukan mimpi atau halusinasiku!" aku memekik takjub sekali lagi.
Aku berjalan mendekati Tomat raksasa di hadapanku, dan memegangnya. Ternyata Tomatnya benar-benar asli, kulit dan bau Tomat yang matang menusuk hidungku.
"Allohu Akbar! Subhannalah! Yang telah menciptakan ini semua." aku memekik takjub.
Kupandangkan bola mataku berkeliling kebun, nun jauh di sana sekitar radius 5 meter, mataku memandang buah ungu raksasa. Aku beranjak dan mendekati buah ungu raksasa itu. Saat kuraba, aku tahu itu adalah buah terong raksasa.
"Masya Alloh! Allohu akbar! Subhanallah!" pekik ku sekali lagi karena melihat kenyataan yang luar biasa di luar kebiasaan.
Tak terasa hari sudah sore, karena keasyikan di kebun yang sepi tak ada seorangpun dan tak ku dengar suara adzan dhuhur, aku lupa belum menunaikan shalat dhuhur. Aku segera beranjak mencari masjid atau mushola terdekat.
Dari tadi aku berjalan, aku tak menemukan bangunan masjid atau mushola, padahal bangunan rumah di desa ini sangat megah. Aku sampai capek berjalan, tetapi belum juga menemukan masjid atau mushola. Aku kelelahan, kringat mengucur deras dari pelipisku. Aku terus berjalan dan tak menghiraukan rasa letih di sekujur tubuhku. Sampai kulihat dari kejauhan seperti menara masjid. Aku sangat senang. Aku segera mempercepat langkahku, seperti semua kekuatan berkumpul di kaki ku. Aku berlari sekencang-kencangnya. Sesampainya di pelataran masjid aku terperanjat, di desa ini rumah-rumah begitu megah, tetapi bangunan masjid ini hampir roboh. Aku menuju pintu masuk masjid. Sekali lagi aku dibuat terkejut dengan tulisan di atas pintu masuk masjid yang bertulis:
"La illah" yang artinya tiada Tuhan.
"Astaghfirullahhal'adzim" aku memekik heran. Penduduk macam apa ini yang tinggal di desa ini.
Aku segera menunaikan wudhu dan sholat dhuhur di masjid. Selesai sholat, aku mencari Alquran untuk dibaca. Tetapi, setelah kutemukan Alquran dan kubuka. Tulisan huruf-hurufnya bukan Alquran.
"Masya Alloh!" aku benar-benar heran dengan masjid ini.
Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dan dinding masjid seperti mau roboh. Aku segera keluar masjid menyelamatkan diri. Tetapi aneh, bangunan masjid hanya bergoyang-goyang dan terdengar suara yang sangat keras.
"Hai manusia! Kalau kamu melihat sesuatu yang aneh, kamu jangan katakan nama-nama Tuhan! Tetapi ucapkanlah busyet!" ucap suara itu keras, mengglegar seperti halilintar.
"Masya Alloh! Subhannalloh! Allohu akbar! Astaghfirullahal'adzim" aku menyebut asma Alloh berkali-kali karena sangat kaget dengan ucapan orang yang tidak tau berasal dari mana.
"Hai! Siapa sih yang bawa-bawa manusia ini ke tempat tinggal kita!? Pulangkan saja manusia ini ke tempat asalnya! Kalau terus-terusan dia menyebut nama-nama Tuhan, bisa hancur tempat tinggal kita selama ini! Pulangkan dia secepatnya!" terdengar suara ribut-ribut dari semua penjuru mata angin, mungkin jumlahnya ratusan bahkan ribuan orang, tetapi mereka tak terlihat.
Tiba-tiba tanah tempat aku berdiri bergonjang, aku terpental sangat tinggi dan jauh, aku melayang di angkasa lumayan lama. Dan tiba-tiba.
"Brukkkkk!" tubuhku terpental dan ku lihat sekeliling adalah kamarku sendiri. aku bingung luar biasa, setelah seharian berkeliling di desa yang aneh. sekarang aku berada di kamarku sendiri. Tepat di atas kasurku, aku jatuh dari atas. Apa ini mimpi? Tetapi, kurasakan badanku sakit semua karena jatuh dari tempat yang tinggi.
"Aghhhhh...aduhhhh sakit pinggangku!" rintihku keras.
Tiba-tiba seseorang masuk.
"Astaghfirullahhaladzim bapaaaakkk!!!" jerit tragis anakku Rama membumbung ke seluruh ruangan.
"Ada apa Rama? Kok kaget banget?! Kamu lihat muka bapak seoalah-olah melihat setan saja?!" tanyaku heran.
"Bapak kan sudah meninggal setahun yang lalu, dan jenazah bapak juga sudah dimakamkan di pemakaman desa kita pak. Tapi, kok sekarang bapak menampak di depanku?! apakah bapak sudah menjadi setan?! tanya Rama histeris sambil menitikkan air mata.
"Ah ngaco kamu! Jelas-jelas bapak mu ini masih hidup kok dibilang sudah meninggal! Kualat kamu nanti!" seruku.
"Demi Alloh pak, setahun yang lalu bapak meninggal, ketika bapak berhari-hari menghilang, kita sekeluarga dan orang-orang desa bingung mencari bapak. beberapa hari kemudian, seorang warga menemukan jasad bapak di kebun dan sudah tidak bernyawa lagi." terang Rama.
"Masa sih?! Bapak ga percaya sama bualanmu!" jawabku dengan nada kesal.
"Ya Alloh bapak...Demi Alooh pak, setahun yang lalu bapak sudah meninggal. Kalau bapak tidak percaya bapak bisa bertanya kepada seluruh warga di desa kita pak!" Rama menjelaskan sekali lagi masih dengan raut muka heran.
Aku terdiam mendengar cerita anakku sendiri. Aku berfikir, mana mungkin anakku sendiri berbohong bahwasanya aku telah meninggal, apalagi anakku dengan tegas bersumpah dengan nama Alloh. Terus selama ini aku pergi kemana? Aku baru teringat seharian tadi aku tersesat di desa yang aneh. Jangan-jangan aku telah pergi ke alam setan?

0

Rizqy Fardhany

Selamat Membaca ^_^

Laman

Cari Blog Ini

Total Tayangan Halaman

Links

Followers