contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Rabu, 17 Maret 2010

Berdasarkan cerita nyata (Based on the True Story)

Tragedi Gelombang Cinta

Ku langkahkan kakiku menuju pintu rumah yang terbuka. Tampak sepi dan lengang, rumah ini seperti tak berpenghuni. Angin bertiup sepoi-sepoi membawa udara panas. Matahari musim kemarau bersinar terik. Udara bertambah panas. Rumah yang berada di tengah sawah ini semakin panas. Sesekali terdengar bunyi serangga sawah dan katak sawah bersahut-sahutan, mereka seolah berteriak kepanasan karena mentari yang menyengat tubuhnya.
Baru sampai di depan halaman rumah, kami sudah disambut oleh dua ekor kera menyeringai galak hendak mencakar kami. Aku lari terbirit-birit ketakutan. Kera itu mengejarku, untung saja tali yang dikalungkan di leher kera itu cukup kuat sehingga kera itu tidak bisa meraihku.
"Hai! Hai! Hai! Jangan begitu! Jangan Nakal!" ucap ibu tua menghambur dari dalam rumah sambil mengacungkan sebuah kayu ke arah kera itu. Kera itu lantas menyungkurkan badan seperti orang sedang sujud, mungkin dia takut dengan tuannya.
"Mba masuk aja ke dalam rumah! Kera ini memang galak kalau sama orang yang belum kenal." teriak ibu tua sambil tersenyum ramah kepadaku.
"Eeh iya bu...." jawabku sambil nyengir kuda melihat tingkah kera yang lucu setelah ibu tua datang menghardiknya.
Aku melangkahkan kakiku menuju pintu yang terbuka bersama Tanteku, kami masih tertawa ringan melihat ibu tua dan keranya. Sesampainya di muka pintu kami mengucapkan salam, tetapi tak ada yang menjawab, hanya sepi dan lengang. Terdengar suara gesekan daun pohon Kelapa yang rimbun di atas rumah ibu tua tadi. Kami menucapkan salam lagi, tetapi masih sama seperti tadi, tak ada orang yang menjawab. Tiba-tiba...
"Gubrakkk!!! Gubraaakkk!!! Gubraakkk!!!" terdengar suara barang-barang jatuh, mungkin di dapur.
Beberapa detik kemudian, muncul bayangan hitam yang menyeringai ngeri. Bulu kudukku berdiri. Dan dengan langkah yang cepat bagaikan menerjang angin bayangan itu berubah semakin besar menghadangku. Keringat dingin ku mengucur deras. Dan tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut lagi.
"Gubraakkk! Gubraakkk!!! Gubraakkkkkkkk!!!!" bergantian.
Tetapi, kini ada tambahan suara lainnya yang bersahut-sahutan.
"Miaaaaooowwww!!! Miaaaaaaooowwww!"
"Ciiit....!!! Ciiiciit...!!! Citciiiiiit!!!"
Seketika tawa kami meledak melihat pemandangan di depan mata kami seekor Kucing dan Tikus berkejar-kejaran seperti dalam film Tom and Jerry saja. Mata si Kucing yang mencerminkan kelaparan yang amat sangat dan mata si Tikus yang mencerminkan rasa takut yang luar biasa saling beradu. Tikus itu berlari dan meloncat kesana-kemari tak tentu arah, barang-barang di depannya ditabrak dengan brutal. Bahkan si Tikus sampai berlari ke atap, si Kucing tak gentar mengejarnya, jadi seperti lagu Maju Tak Gentar saja, hahahaha pikirku.
"Masuk aja mba!" teriak ibu tua dari luar.
Kami memasuki rumah yang sepi, tawa kami terhenti seketika ketika kami melihat seorang perempuan kurus kering memakai kaos dalam sedang tidur dengan pulas di belakang kursi tamu di ruang tamu. Wajahnya tak terlihat karena terhalang badannya yang meringkuk.
"Silahkan duduk mba...! Tapi maaf saya gak bisa suguhin apa-apa..." ucap ibu tua ramah sambil membawa nampan berisi air putih.
"Iya bu...gak papa...air putih udah lebih dari cukup." jawab kami balik tersenyum.
"Bu, Isah nya dimana?" tanya Tante ku kemudian.
"Itu sedang tidur!" ucap ibu tua seraya menunjukan arah kepalanya ke arah perempuan yang tadi tidur di ruang tamu.
Kami segera mendekati perempuan itu.
"Masya Allah... Isaaaaah..." teriak Tante ku histeris dengan spontan.
Perempuan itu mendongakan kepalanya perlahan-lahan, rambutnya yang berantakan bergoyang-goyang pelan, matanya yang memerah karena tidur perlahan-lahan dibuka. Wajahnya pucat dan cekung, tulang pipinya menonjol, tubuhnya seperti tengkorak hidup hanya tinggal tulang belulang yang dilapisi kulit. Wajahnya terlihat sangat tua, seperti nenek-nenek berusia enam puluhan tahun. Urat-uratnya menyemburat muncul. Rambutnya merah, kusam, dan acak-acakan. Tatapan matanya pias dan kosong, kornea matanya yang dulu putih kini berwarna cokelat seperti orang yang menangis tiada henti.
Aku benar-benar tak percaya dengan penglihatan mataku. Hatiku miris remuk redam melihat sahabat kecilku di masa lalu yang dulu sehat, berwajah manis, dan periang kini berubah menjadi seperti mumi hidup, tatapan matanya yang selalu kosong entah memikirkan apa, dia menjadi sangat pendiam. Air bening berkumpul dimataku, hendak menetes, tetapi ku tahan, ku kuatkan hati untuk bertanya kepadanya kenapa dia menjadi seperti itu.
"Ani....." suara perempuan itu memanggil nama kecilku, parau dan pelan.
"Iya ini aku...Sah..." jawabku dengan nada sedih, kupandang matanya yang terlihat kosong, terlukis jelas di matanya kesedihan yang amat sangat.
"Ani....." panggilnya sekali lagi dengan suara parau, tetapi kali ini agak lebih keras.
"Iya...Saaah...aku di sini...." jawabku masih dengan nada sedih.
"Ani...kesini sama siapa?" tanyanya pelan.
"Aku sama Tante ku...yang dulu kamu bekerja di rumahnya menjaga anak-anaknya, ingat kan....?!"
"Bu Iim...." suaranya pelan, wajahnya didongakkan ke arah tanteku berada.
"Isah...kenapa kamu jadi seperti ini...?!" tanya tanteku dengan nada suara yang tercekat menahan sedih.
"Sejak kejadian di Jakarta waktu itu, Isah jadi berubah menjadi seperti ini..." ucap ibu tua dengan nada sedih.
"Emang kejadiannya seperti apa bu?" tanya Tante ku dengan nada penasaran.
Aku masih syok melihat keadaan sahabat kecilku di masa lalu, aku tak bisa berkata-kata hanya memandanginya dengan mata tergenangi air mata.
"Yah...sejak Isah kerja di Jakarta sebagai pembantu rumah tangga..." ibu tua menghela nafas panjang melanjutkan cerita.
"Dia bekerja mengasuh anak kecil, kejadiannya bermula ketika majikannya membeli tanaman hias "Gelombang Cinta" yang harganya jutaan rupiah. Selain ditugasi menjaga anak majikannya yang masih berusia balita, Isah juga ditugasi menjaga dan merawat tanaman mahal itu. Tetapi, tiba-tiba tanaman mahal itu dicuri orang. Isah merasa sangat bersalah kepada majikannya, karena telah lalai menjalankan tugasnya..." suara ibu tua tiba-tiba terhenti, terlukis jelas diwajahnya yang keriput kesedihan yang mendalam, matanya tergenang air mata kesedihan.
Kami hanya bisa terdiam memandang wajah ibu tua yang sedih dan memandang Isah yang masih terlihat asyik dengan lamunannya, matanya masih terlihat kosong.
"Sejak saat itu Isah sering melamun...sampai akhirnya dia meminum obat nyamuk semprot Baygon...Isah mencoba bunuh diri karena merasa sangat bersalah dengan majikannya..." ibu tua mendesah mengambil nafas panjang.
"Isah ditemukan tak sadarkan diri di kamarnya, majikannya segera membawanya ke Rumah Sakit terdekat. Isah diopname sampai beberapa hari dia coma, tetapi syukurlah dia akhirnya sadarkan diri juga. Tetapi, dia tetap melamun dan tidak mau makan, oleh karena itu kondisinya tak kunjung membaik. Akhirnya, majikannya membawanya pulang dan menghubungi kami karena tidak sanggup membayar biaya rumah sakit yang mahal. Isah kami bawa pulang ke rumah. Keadaanya masih tetap sama, dia tidak mau makan apapun, minum juga cuma sedikit sekali, makanya badanya jadi kurus kering seperti itu. Berhari-hari Isah tidak mau makan dan setiap harinya dia hanya melamun terus entah apa yang dipkirkannya. Jika diajak ngobrol dia hanya diam dan masih tetap melamun seperti sekarang ini. Karena tidak makan keadaanya memburuk. Kami akhirnya terpaksa membawanya ke Puskesmas untuk diopname karena dia tidak mau makan akhirnya dia di infus." Ibu tua menghentikan pembicaraan sambil memandang Isah dengan tatapan pilu yang terbaring di tikar tanpa selimut.
"Di Puskesmas dia tetap tidak mau makan apapun, bahkan sampai cairan infus tidak mau masuk ke dalam tubuhnya. Karena kami tidak kuat lagi membayar biaya opname di Puskesamas, terpaksa Isah kami bawa pulang ke rumah. Kalian bisa lihat kan...sekarang keadaannya seperti apa..." jelas ibu tua dengan nada sedih.
Aku menghampiri Isah dan mencoba mengajaknya ngobrol.
“Kamu kenapa Sah...Kok jadi seperti ini?” tanyaku.
Isah hanya terdiam, matanya berputar-putar, tetapi pandangannya tetap kosong.
“Sekarang apa yang kamu rasakan Sah?” tanyaku lagi.
“Gak tau...” jawab Isah tertahan dan pelan.
“Apa kamu rasanya ingin melamun terus?” tanyaku penuh selidik.
“Iya....” jawab Isah pelan.
“Terus kepalamu rasanya pusing banget...sampai-sampai penginnya tidur terus?” kutanyakan perasaan yang sama kurasakan dulu saat awalnya aku mencoba untuk bunuh diri.
“Iya....”
“Badanmu dan tulang-tulangmu rasanya sakit semua?” tanyaku lagi.
“Iya...” jawabnya pelan sambil menutupkan kelopak matanya, tersirat jelas diwajahnya rasa capek yang luar biasa.
“Aku mau tidur dulu ya...capek banget...” ucapnya pelan sambil membenarkan posisi tidurnya.
Kami berbincang-bincang lama dengan ibu tua tentang keadaan Isah, karena keluarganya miskin terpaksa mereka hanya merawatnya di rumah saja. Maklum penghasilan mereka tidak seberapa, bapaknya hanya tukang becak kampung dan sekarang kakinya sedang sakit karena luka, terpaksa dia berhenti bekerja. Sedangkan Ibu tua hanya bekerja sebagai petani dan kadang-kadang pencuci pakaian tetangga. Gajinya tidak seberapa, terkadang buat makan satu keluarga yang jumlahnya 14 orang saja, itu susah...ditambah lagi sekarang Isah sakit, penderitaannya berlipat-lipat.
"Kemarin, nyawanya Isah seperti hilang, dia tidak sadarkan diri cukup lama, lalu kami sekeluarga dan tetangga yang datang membacakannya surat Yassin. Alhamdulillah, akhirnya dia sadarkan diri juga..." ucap ibu tua dengan nada khawatir.
Kami agak kaget, mendengar ibu tua membacakan Alquran surat Yassin, padahal kita juga tau bahwa keluarga ini tidak mengerjakan sholat lima waktu. Dulu, mereka jika ditanya tetangga kenapa tidak sholat? Mereka hanya menjawab, "Sholat tidak merubah hidup kita, kita tetap saja miskin!" Tetapi, sekarang mereka percaya hikmahnya Alquran ketika Isah sakit, semoga saja karena musibah ini mereka mendapatkan hidayah dari Alloh SWT. Kami pamit pulang karena hari sudah petang. Matahari hendak kembali ke ufuk barat. Kami pamitan ke Isah dan Ibu tua.

Sehari setelah aku menjenguk Isah, kukabarkan keadaan Isah pada teman dekatku, Dina dan Ayu. Siangnya sepulang sekolah, kami berkunjung ke rumah Isah, sambil membawa roti dan makanan seadanya dari uang patungan kita. Kami masih memakai seragam SMA ketika measuki rumah Isah, ibunya menyambut kami dengan gembira.
"Wuaaaah...mba datang lagi...saya sangat senang Isah dijenguk teman-temannya...ayo masuk-masuk! Isahnya ada di kamar sedang tertidur, masuk aja ke kamarnya...bangunkan saja Isah, dari tadi dia tidur!" ucap Ibu tua girang.
Kami segera memasuki kamar Isah dan membangunkannya dengan hati-hati.
"Sah...ini kami datang menjengukmu..." ucap kami berbarengan.
"Ani..." ucapnya pelan sambil membuka kelopak matanya pelan-pelan.
"Iya...aku dateng bersama Ayu dan Nana, kamu masih ingat mereka kan..?!" tanyaku.
"Ayu...Nana..." mata Isah memandang Ayu dan memanggil nama panggilan akrab Dina dengan sebutan Nana.
"Iya Sah...kami datang untuk menjengukmu...kami bawakan kamu roti dan susu...dimakan ya..." ucap Ayu dengan nada membujuk.
"Iya Sah dimakan ya rotinya...enak loh...apalagi pakai susu..." ucap Dina dengan nada membujuk.
Isah tetap menggeleng.
"Ayo Sah dimakan ya rotinya biar kamu sembuh nanti kita bisa man bersama lagi seperti dulu. Bermain di sawah menangkap ikan dan belut, ke bukit, mandi di sungai, membuat rujak bersama dan kita makan bersama seperti dulu..." bujukku bersamangat.
"Iya Sah...nanti kita main-main lagi sepeti dulu...kan asyik banget loh..." ucap Ayu tak kalah semangat denganku.
Tetapi, Isah tetap menggelengkan kepala, pelan-pelan dia menutupkan kelopak matanya yang sayu dan berucap pelan...
"Aku ngantuuuuk...." ucapnya sembari menaruh kepalanya di atas bantal.
Kami mafhum, kami segera keluar dan berpamitan kepada ibunya Isah. Kami pulang dengan perasaan sedih karena kami gagal membujuk Isah untuk makan agar dia sembuh dan bisa bermain bersama kami lagi.

Keesokan paginya, seperti biasa aku ke rumah Dina menjemput dia untuk berangkat sekolah bersama, karena rumah Dina berdekatan dengan sekolah, kami sering berangkat bersama.
"Tadi pagi sekitar jam 06.00 WIB di rumah Isah ada ramai-ramai. Kudengar dari tetangaku Rama, katanya Isah telah dipanggil oleh Alloh SWT pagi tadi sehabis Shubuh." ucap Dina dengan nada sedih.
"Innalillahi wa innaillaihi raji'un..." ucapku kaget setengah mati.
Kami terdiam beberapa saat.
"Kamu yakin Na...kamu gak salah dengar?" tanyaku tak percaya.
"Iya...aku yakin...setelah tetanggaku Rama mengatakan Isah meninggal aku buru-buru ke tempat keramaiain itu. Dan kulihat tubuh Isah kaku dan digendong orang-orang dimasukkan ke dalam mobil, mungkin untuk disholatkan lalu dikuburkan." ucap Dina dengan nada sedih.
Kami tertunduk lama. Masih jelas dalam ingatanku, kemarin kami bertemu dengannya dalam keadaan dia sakit parah dan kurus kering seperti mumi. Tetapi, sekarang dia sudah meninggal. Rasa-rasanya baru kemarin aku bertemu dia, tiga tahun yang lalu kita berpisah karena dia merantau ke Jakarta dan kita bertemu ketika malam lebaran di kios dekat rumahku. Badannya sehat, tinggi, bersih seperti orang kota dan cantik. Kami ngobrol cukup lama sampai malam memisahkan kita. Sejak itu kita tidak pernah bertemu lagi. Masih jelas dalam ingatanku, enam tahun yang lalu kita bermain bersama, bermain layangan di lapangan desa atau di sawah yang mengering, kita mandi di sungai bersama, pergi ke bukit bersama, tetapi semua itu sekarang tinggal kenangan indah yang tersimpan di hati. Selamat jalan Isah, semoga engkau diterima di sisiNya, engkau akan selalu ku kenang di dalam hatiku yang terdalam dan terukir indah bersama kenangan indahku yang lain.

Tiba-tiba pandanganku kabur dan berubah ke waktu enam tahun silam. Kulihat empat sosok gadis kecil sedang berlari riang gembira di pematang sawah yang disinari mentari sore hari. Kudengar canda-tawa mereka yang terbang terbawa oleh angin sore.
“Ayoooooo! Kita berlomba mencari ikan sebanyak-banyaknya dan mengumpulkan siput sawah sebanyak-banyaknya!!!” teriak gadis kecil bersuara cempreng bersemangat.
“Ayoooo!!! Nanti aku pasti yang paling banyak mendapat ikan dan mengumpulkan paling banyak siput sawah!” teriak gadis kecil berambut sebahu, tipis dan agak merah bersemangat.
“Nanti aku yang pasti menang! Paling banyak mendapat ikan dan mengumpulkan paling banyak siput sawah!” teriak gadis kecil berambut sebahu dan agak kriting tak kalah bersemangat.
“Udah....jangan ribut! Kita tunjukkan saja kemampuan kita, siapa yang paling banyak mendapatkan ikan dan paling banyak mengumpulkan siput sawah dia yang nanti terbukti muncul sebagai pemenangnya!” ucap gadis kecil berambut sebahu yang hitam mengkilat menengahi keributan.
“Ayo kita mulai perlombaan sekarang!!!” teriak gadis kecil bersuara cempreng bersemangat.
Kulihat mereka segera berlari sambil menenteng ember kecil dan alat penangkap ikan ditangan mungil mereka. Kaki-kaki mungil mereka menginjak pematang sawah yang sempit tanpa takut terjatuh mereka berlari kencang menerjang angin dan dedaunan padi yang menghijau. Tawa mereka tenggelam diantara kicauan burung sawah dan bunyi katak sawah. Tangan-tangan mereka segera meraih siput sawah yang ada di tepi-tepi parit pematang sawah.
Dari percakapan mereka yang terbawa oleh hembusan angin, aku mengetahui nama-nama mereka. Gadis kecil yang bersuara cempreng bernama Isah. Gadis kecil berambut sebahu, tipis dan agak merah bernama Dina yang biasa dipanggil dengan sebutan Nana. Gadis kecil berambut sebahu dan agak kriting bernama Ayu. Dan gadis kecil terakhir berambut sebahu yang hitam mengkilat tak lain adalah aku sendiri, aku ketika masih kecil. Kupandangi wajahku yang masih mungil dan polos, kudekati sosok tubuhku yang mungil dan hendak kupegang badanku yang mungil. Tetapi semakin aku hendak meraih badanku yang mungil, tanganku tak kuasa menggapainya. Kucoba berkali-kali menggapainya, tetapi nihil tetap tak bisa. Semua pemandangan dihadapanku seperti layar LCD di dinding, bisa kulihat tetapi tak bisa kupegang.
Tawa-canda mereka merekah diantara daun-daun padi yang menghijau dan diantara lumpur-lumpur sawah berwarna gelap bertekstur lembut. Saking asyiknya mereka tak kenal waktu bermain di sawah, tak terasa mentari telah kembali ke peraduannya dan sang senja telah muncul di ufuk barat. Angin sore bertiup semilir menggoyangkan daun-daun padi. Tiba-tiba terdengar teriakan keras dari ujung rumah tetangga yang berdekatan dengan sawah.
“Ani...................!!! Pulaaaaaaang!!! Udah sore!!! Bentar lagi adzan Maghrib!!!” teriak seorang perempuan memecah keheningan sore yang indah.
Gadis kecil berambut sebahu yang hitam mengkilat mendengar suaranya dipanggil segera mendongakkan tubuhnya dan memalingkan wajahnya. Dia melihat dari kejauhan daun-daun padi yang menghijau ibunya melambai-lambaikan tangannya menyuruhnya pulang.
“Hai!!! Teman-teman ayo kita pulang! Sudah sore nanti kita dicari ibu kita loh! Tuh ibuku sudah memanggilku menyuruhku pulang!” teriak Gadis kecil berambut sebahu yang hitam mengkilat itu sembari mengangkat kaki mungilnya dari kubangan lumpur sawah hendak beranjak naik ke pematang sawah.
Mereka bertiga akhirnya menyudahi pencarian siput sawah dan menangkap ikan karena hari sudah petang. Satu persatu dari mereka mengangkat kaki mungilnya dari kubangan lumpur sawah dan naik ke pematang sawah. Mereka berlari berkejar-kejaran menerjang angin sore dan daun-daun padi yang menghijau. Langkah kaki mungil mereka saling mendahului membasahi rumput-rumput di pematang sawah. Matahari hendak kembali ke peraduannya, burung-burung sawah bernyanyi riang hendak kembali ke sarangnya, sementara itu kelelawar malam keluar dari sarang mereka, tawa riang gadis-gadis mungil itu memecah keramaian senja sore yang indah. Senja sore yang indah dengan warna jingganya yang memenuhi angkasa takkan terlupakan olehku. Begitu juga canda-tawa teman-teman kecilku yang memecah keramaian senja sore yang indah akan selalu terkenang di palung hatiku terdalam. Bahkan, sampai hari ini saat aku sudah menjadi mahasiswi yang duduk di semester empat, keindahan senja dan canda-tawa masa kecilku seolah baru kemarin kurasakan. Mereka menjadi lukisan keabadian terindah dalam hatiku.

2

Rizqy Fardhany

Selamat Membaca ^_^

Laman

Cari Blog Ini

Total Tayangan Halaman

Links

Followers