contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Jumat, 16 April 2010

new

Semilir angin berhembus meniupkan kerudungku. Ku lihat beberapa buah layang-layang di langit yang biru terbang dimainkan oleh angin musim kemarau. Beberapa petak sawah masih ditumbuhi padi yang menghijau hampir menguning, sebagian yang lain sudah dipanen dan terlihat tanah ladang padi yang pecah-pecah karena tersengat panasnya mentari musim kemarau. Banyak anak kecil berlarian di petak-petak sawah yang mengering sambil memegangi gulungan senar layangan. Terdengar teriakan mereka yang membubung angkasa ketika mereka mengadu layangan mereka. Sangat meriah dan terlihat sangat menyenangkan. Yeah memang sangat menyenangkan, perasaan yang sama ketika enam tahun silam aku mengadu layangan dengan anak-anak di kampungku. Aku masih ingat jika layanganku putus, aku segera mengejarnya bahkan sampai melalui perbatasan desa tetangga. Padahal, aku pun bisa membeli layangan yang sama tanpa harus mengejarnya. Tetapi, di sinilah letak kepuasaannya apabila mengejar dan mendapatkan layangan yang telah putus dan terbang tertiup angin. Kamu mungkin juga pernah merasakan perasaan yang sama sepertiku kawan jika kamu pernah mengejar layangan yang putus.
Terkadang aku bermain layangan bersama mbakku dan bersama temanku Dina atau Isah. Kita biasa bermain layangan di pematang sawah yang mengering, karena di sana anginnya sangat kencang, jadi sangat mudah menerbangkan layangan. Tetapi, jika ladang padi belum dipanen, kami bermain di lapangan. cukup sulit menerbangkan layangan di sana, anginnya tak terlalu kencang tak seperti di sawah. Kadang kita bermain layangan setelah pulang sekolah, sekitar jam 14.00 kita sudah tidak sabar untuk bermain layangan. Padahal, matahari masih memercikkan sinarnya yang panas, kita sudah berlari menerjang angin menerbangkan layangan. Tak heran kulit tubuh kita berubah menjadi hitam terbakar matahari.
Tak hanya bermain layangan, anak kampung sepertiku mempunyai banyak permainan untuk dimainkan. Seusai bermain layangan, kita biasa bermain naik Kerbau yang sedang berkubang di sawah yang tanahnya berupa lumpur. Tetapi, aku takut untuk mencoba menaiki punggung Kerbau, aku takut diseruduk. Jadi, aku hanya duduk di Parit diam saja melihat teman-temanku asyik naik punggung Kerbau. Kadang kita mencari siput sawah, ikan, jamur padi, dan belalang di sawah. Setelah itu, kita mandi di sungai. Hal ini yang paling aku suka. Aku suka sekali berenang, bahkan jika teman-temanku meminta kita sudahi berenang, aku malas untuk bangkit dari air. Aku bisa tahan berjam-jam dalam air, sampai bibirku membiru dan wajahku pucat, aku masih asyik berenang. Kalau aku puas dan kecapekan berenang, baru aku mau bangkit dari air. Sesudah berenang kadang kita beramain kelereng di halaman rumah, bermain lempar karet di ujung jendela kaca rumah. Siapa yang dapat karet terbanyak dia yang menang. Selain itu kita juga bermain lomapat tali, kartu wayang, petak umpet, rumah-rumahan, masak-masakan, pasar-pasaran, dan masih banyak yang lainnya. Semua permainan kita yang ciptakan sendiri dengan alat yang tersedia di alam atau permainan tradisional tanpa alat. Itulah masa kecilku yang indah seperti percikan warna yang kian terpercik dengan warna lainnya menghasilkan keindahan spektrum pelangi.
Tiba-tiba pandanganku kabur dan berubah ke waktu enam tahun silam. Kulihat empat sosok gadis kecil sedang berlari riang gembira di pematang sawah yang disinari mentari sore hari. Kudengar canda-tawa mereka yang terbang terbawa oleh angin sore.
“Ayoooooo! Kita berlomba mencari ikan sebanyak-banyaknya dan mengumpulkan siput sawah sebanyak-banyaknya!!!” teriak gadis kecil bersuara cempreng bersemangat.
“Ayoooo!!! Nanti aku pasti yang paling banyak mendapat ikan dan mengumpulkan paling banyak siput sawah!” teriak gadis kecil berambut sebahu, tipis dan agak merah bersemangat.
“Nanti aku yang pasti menang! Paling banyak mendapat ikan dan mengumpulkan paling banyak siput sawah!” teriak gadis kecil berambut sebahu dan agak kriting tak kalah bersemangat.
“Udah....jangan ribut! Kita tunjukkan saja kemampuan kita, siapa yang paling banyak mendapatkan ikan dan paling banyak mengumpulkan siput sawah dia yang nanti terbukti muncul sebagai pemenangnya!” ucap gadis kecil berambut sebahu yang hitam mengkilat menengahi keributan.
“Ayo kita mulai perlombaan sekarang!!!” teriak gadis kecil bersuara cempreng bersemangat.
Kulihat mereka segera berlari sambil menenteng ember kecil dan alat penangkap ikan ditangan mungil mereka. Kaki-kaki mungil mereka menginjak pematang sawah yang sempit tanpa takut terjatuh mereka berlari kencang menerjang angin dan dedaunan padi yang menghijau. Tawa mereka tenggelam diantara kicauan burung sawah dan bunyi katak sawah. Tangan-tangan mereka segera meraih siput sawah yang ada di tepi-tepi parit pematang sawah.
Dari percakapan mereka yang terbawa oleh hembusan angin, aku mengetahui nama-nama mereka. Gadis kecil yang bersuara cempreng bernama Isah. Gadis kecil berambut sebahu, tipis dan agak merah bernama Dina yang biasa dipanggil dengan sebutan Nana. Gadis kecil berambut sebahu dan agak kriting bernama Ayu. Dan gadis kecil terakhir berambut sebahu yang hitam mengkilat tak lain adalah aku sendiri, aku ketika masih kecil. Kupandangi wajahku yang masih mungil dan polos, kudekati sosok tubuhku yang mungil dan hendak kupegang badanku yang mungil. Tetapi semakin aku hendak meraih badanku yang mungil, tanganku tak kuasa menggapainya. Kucoba berkali-kali menggapainya, tetapi nihil tetap tak bisa. Semua pemandangan dihadapanku seperti layar LCD di dinding, bisa kulihat tetapi tak bisa kupegang.
Tawa-canda mereka merekah di antara daun-daun padi yang menghijau dan di antara lumpur-lumpur sawah berwarna gelap bertekstur lembut. Saking asyiknya mereka tak kenal waktu bermain di sawah, tak terasa mentari telah kembali ke peraduannya dan sang senja telah muncul di ufuk barat. Angin sore bertiup semilir menggoyangkan daun-daun padi. Tiba-tiba terdengar teriakan keras dari ujung rumah tetangga yang berdekatan dengan sawah.
“Ani...................!!! Pulaaaaaaang!!! Udah sore!!! Bentar lagi adzan Maghrib!!!” teriak seorang perempuan memecah keheningan sore yang indah.
Gadis kecil berambut sebahu yang hitam mengkilat mendengar suaranya dipanggil segera mendongakkan tubuhnya dan memalingkan wajahnya. Dia melihat dari kejauhan daun-daun padi yang menghijau ibunya melambai-lambaikan tangannya menyuruhnya pulang.
“Hai!!! Teman-teman ayo kita pulang! Sudah sore nanti kita dicari ibu kita loh! Tuh ibuku sudah memanggilku menyuruhku pulang!” teriak Gadis kecil berambut sebahu yang hitam mengkilat itu sembari mengangkat kaki mungilnya dari kubangan lumpur sawah hendak beranjak naik ke pematang sawah.
Mereka bertiga akhirnya menyudahi pencarian siput sawah dan menangkap ikan karena hari sudah petang. Satu persatu dari mereka mengangkat kaki mungilnya dari kubangan lumpur sawah dan naik ke pematang sawah. Mereka berlari berkejar-kejaran menerjang angin sore dan daun-daun padi yang menghijau. Langkah kaki mungil mereka saling mendahului membasahi rumput-rumput di pematang sawah. Matahari hendak kembali ke peraduannya, burung-burung sawah bernyanyi riang hendak kembali ke sarangnya, sementara itu kelelawar malam keluar dari sarang mereka, tawa riang gadis-gadis mungil itu memecah keramaian senja sore yang indah. Senja sore yang indah dengan warna jingganya yang memenuhi angkasa takkan terlupakan olehku. Begitu juga canda-tawa teman-teman kecilku yang memecah keramaian senja sore yang indah akan selalu terkenang di palung hatiku terdalam. Bahkan, sampai hari ini saat aku sudah menjadi mahasiswi yang duduk di semester empat, keindahan senja dan canda-tawa masa kecilku seolah baru kemarin kurasakan. Mereka menjadi lukisan keabadian terindah dalam hatiku.

0

Rizqy Fardhany

Selamat Membaca ^_^

Laman

Cari Blog Ini

Total Tayangan Halaman

Links

Followers